“ semuanya sudah berubah, Bunda?”
Kami hanya
duduk dengan beribu diam melihat sang jago merah melalap sejengkal demi
sejengkal tempat tinggal kami. Bunda hanya menangis, diam seribu kata. Tak satu
katapun yang dapat ia katakan, kecuali hanya menangis, dan membersihkan air
matanya yang terus mengalir dengan jilbab panjang yang ia kenakan. Ku tak tau
mengapa Tuhan menghapus begitu saja segala hal yang kami jalani dengan penuh
kasih sayang.
“ Belum sa,”
“ sasa
kedinginan bunda, tak tau lagi mau tidur dimana?”
Hanya itulah
pertanyaan polos anak kecil yang bunda besarkan dengan kasih sayang. Hanya
sasalah yang dibesarkan bunda dati kecil, berbeda dengan kami yang berlari ke
hadapan bunda untuk menyelamatkan kami.
“ sasa tidur
dipelukan bunda aja dulu ya, biar sasa ngak kemasukan angin”
“ tapi sasa
ngak bisa melihat bunda tidur kalau menangis terus.”
“ ya sasa,
bunda ngak nangis lagi, ini bunda senyum buat sasa. Sasa tidur ya”
Tampak olehku
wajah bunda yang memaksa harus tersenyum menghadapi anak yang sangat ia
sayangi. Mungkin bunda hanya ingin menebus segala dosa yang selama ini ia
lakukan.
“roy ngak
tidur, kalau kedinginan tidur bareng sasa aja biar ngak kedinginan” ajak bunda
dengan suara seraknya.
“roy belum
ngantuk bunda, roy masih ingin menemani bunda” jawabku
“ya ngak
apa-apa, nanti kalau sudah mengantuk kesini ya tidur dipelukan bunda”
“ya bunda”
jawaabku sambil mendekatkan badan ke pelukan bunda. Mengharap tuhan masih memberikan
puing-puing sisa untuk mengenang kenangan kami.
*****
Hari sudah pagi.
Ku terbangun dibaluti selimut tebal yang menutupi badan kami yang hidup karena
arang hitam yang menyentuh kulit kami. Ku coba bangun mencari bunda yang telah
pergi menjauhi kami.
Kuhampiri bunda
yang mengais puing-puing yang ditinggalkan si jago merah. Masih terlihat wajah
sedih bunda dan iar matanya tidak berhenti-henti mengalir di pipi hitamnya.
“ Kamu sudah
bangun roy?” tanya bunda
“ Sudah bun, bunda
kenapa masih bersedih. Bunda mau aku pijitin biar ngak sedih lagi bunda?”
balasku
“ tak usah, kamu
jaga saja adik-adik mu yang masih tidur, sudah pergi sana?” perintah bunda.
Aku pergi tanpa
kata untuk melawan perintah bunda. Menjaga adik angkatku yang memiliki nasib
hampir sama dnegan diriku.
Aku Roy, anak
angkat bunda yang pertama. Aku tau diapa bunda yang sebenarnya. Bund ayang
mengambilku. Ketika dunia yang aku huni ini begitu kelam. Aku adalah anak dari
kasarnya tangan orang tua. Setiap hari keluarga ku harus berkelahi untuk
menentukan siapa yang benar. Kadang mereka tidak memikirkanku sebagai anaknya
yang mereka lahirkan dari buah cinta mereka. Hingga pada suatu hari aku bertemu
dengan bunda ketika semua sedihku bertumpuk begitu saja. Aku sudah mengenal
bunda sebelum kejadian itu, karna bunda adalah teman baik orang tuaku, aku
lahir dan di esarkan di lingkungan kumuh, yang tak tau lagi akan dunia agama
dan sosial. Hinggabunda membawa lari aku dari kedua orangtua ku ketika hampir
semua badanku memar.
Aku masih teringat
betapa tebalnya bedak bunda ketika memulungku pertama kali. Dia membawa ku jauh
dari kedua orang tua ku. Aku hanya menurut kemana bunda pergi, yang aku tau
hanyalah aku telah pergi jauh dari orang tuaku yang membuang ku begitu saja.
Hingga beberapa
hari aku hidup bersama bunda. Dan aku tak tau apa yang aku lakukan terhadap
bunda. Yang aku tau bagaimana aku bertahan hidup dengan tekanan batin yang
begitu dalam.
Bunda membuat
hidupku berubah. Aku tau bahwa kasih sayang itu nyata. Bunda menyayangiku
bagaikan aku hidup kembali. Bunda membawa ku kemana ia pergi, terpenting bunda
tidak pernah kembali ke pemukiman kumuh itu lagi. Bunda membawa ku ke kampung
halamannya.
Aku melihat
bunda mulai berubah. Ia mulai merubah pakaiannya, menutup semua badannya.
“ bunda mau
kemana?” tanyaku
“ bunda mau
pulang kampung, biar kamu bisa bertemu dengan teman-teman yang baru, biar kamu
bisa sekolah.”
“ bunda mau
sekolahkan roy, tapi roykan ngak ada uang, Roy juga belum kerja. Memang bunda
mau bayar uang sekolah Roy pake apa?”
“ bunda punya
tabungan kok”
Aku hanya
senang pada waktu itu. Aku tak tau mengapa bunda begitu menyayangiku melebihi
kedua orangtuaku. ya, yang penting saat itulah aku meresa ada yang berbeda dari
bunda.
****
“ kau wanita
jalang, pengi sana! Jangan pernah kembali lagi kau ke rumah . kau wanita yang
tau diri. “
Itulah hardikan
yang bunda terima ketika kembali ke kampung halamannya. Hanya cacian yang ia
dapat. Bunda ingin merubha dirinya menjadi lebih baik. Tapi bunda sendiri telah
mencoreng nama kampung halamannya sendiri. Sehingga tak ada satupun masyarakat
yang enggan menerimanya kembali. Banyak warga yang takut akan sefit bunda yang
sering mengganggu para pria yang sudah berkeluarga. Tapi aku tau bunda hanya
ingin meminta maaf dan ingin mengulang kehidupannya yang baru, walaupun ia
tidak bisa menebus segala dosanya yang telah ia perbuat terhadap masyarakat
sekitarnya.
Kami hanya
melangkahkan kaki menuju ke tempat swumah yang ditinggalkan oleh sumai bunda.
Yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Entah apa sebab meninggalnya suami
bunda. Aku tak ingin menceritakannya, karena hanya bunda yang menutup
dalam-dalam cerita kelamnya.
Keinginanku ingin
sekolah hanyalah tinggal mimpi, ketika bunda tak sanggup lagi membiayai
sekolahku, dan mengadopsi sasa anak yang terbuang. Yang ada di benakku mengapa
ibunya begitu tega membuang sasa begitu saja.
Bunda
membesarkan kami berdua dan membesarkan anak-anak yang lainnya. Kadang bunda
merelakan waktunya untuk mengajarkan kami membaca dan menulis. Hanya itu yang
bisa bunda berikan kepada kami. Hingga kami tumbuh besar dalam asuhan wanita
yang terbuang jauh karena masa kelamnya dahulu.
****
“ yok Roy. Kita
pergi!” ajak bunda
“ Kemana bun?”
tanyaku
“ kita cari tempat
tinggal dulu ya. ini bunda ada beberapa duit dari bantuan pak RT, nanti kalau
bunda ada duit kita tinggal disini lagi” bujuk bunda.
“ ini bunda roy
masih ada tabungan bunda, kemaren Roy selamatkan saat kebakaran.”
“ kamu ngak usah
kasih unag itu sama bunda. Kamu tabungkan saja uangnya, nanti kamu butuh”
bantah bunda.
“ ya bun.”
Kami jangan dengan
perlahan menjauh dari tempat yang penuh kenangan, mencari tempat yang baru. Aku
masih menatap wajah bunda, bagaikan sang rembulan di tengah malam. Yang
memberikan kami sinar terang ketika tak ada lagi cahaya diantara kami.
Bengkulu, 27 februari 2016

No comments:
Post a Comment